Pasien dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit dengan mengirimkan email berisi informasi bohong mengenai pelayanan medis ke beberapa milis. Sebaliknya, pasien menuduh rumah sakit yang tak becus melakukan tindakan medis.
PT Sarana Meditama Internasional yang mengelola Rumah Sakit Omni Internasional kembali harus menempuh upaya hukum terhadap mantan pasiennya. Sebelumnya rumah sakit itu menggugat keluarga dari Abdullah Anggawie yang tak bersedia membayar tagihan biaya lantaran dinilai tak wajar dan berlebihan.
Ternyata rumah sakit itu tak cuma menggugat Abdullah. Prita Mulyasari adalah pasien lain yang juga digugat oleh rumah sakit dengan masalah yang berbeda. Gugatan dilayangkan ke PN Tangerang sejak September 2008 lalu. Rencananya pekan ini majelis hakim akan menjatuhkan putusan perkara ini.
Risma Situmorang, kuasa hukum rumah sakit menuturkan dasar gugatan terhadap Prita adalah perbuatan melawan hukum. Prita dianggap melakukan tindakan yang menyudutkan dan menjatuhkan reputasi rumah sakit.
Begini ceritanya. Awal Agustus 2008 Prita datang ke unit gawat darurat rumah sakit yang berdomisili di bilangan Serpong, Tangerang. Ia mengeluh badannya panas, sakit kepala berat, mual, lemas, sakit tenggorokan serta tak nafsu makan. Awalnya hasil pemeriksaan sampel darah Prita menunjukkan penurunan trombosit hingga 27 ribu mikroliter. Salah satu gejala penyakit demam berdarah adalah turunnya trombosit hingga di bawah 100 ribu mikroliter.
“Namun, dokter jaga saat itu merasa tak hasil itu tak valid. Oleh karenanya dokter memerintahkan untuk mengambil dan menguji sampel darah lagi,” kata Risma kepada hukumonline, Selasa (5/4). Hasil pengujian ulang, kata Risma, menunjukkan kalau angka trombosit Prita mencapai 180 ribu mikroliter. Meski begitu, Prita tetap harus menginap di rumah sakit selama 5 hari. “Sebelumnya dia sudah menandatangani surat pernyataan perawatan.”
Setelah dirawat lima hari, Prita sudah merasa sehat. Ia meminta izin pulang ke rumah. Namun ternyata dokter menemukan ada gejala penyakit baru yang menjangkit di tubuh Prita. Kontan Prita mencak-mencak karena merasa dipermainkan dengan ketidakpastian hasil diagnosa dokter.
Dokter penanggung jawab komplain rumah sakit, kata Risma, sebenarnya menyarankan Prita untuk mengisi lembar saran dan masukkan. “Tapi besok-besoknya dia malah menulis di email dan disebarkan kepada publik salah satunya ke milis customer_care@bankingsinarmas.com dengan menuduh Rumah Sakit Omni Internasional telah menipu dirinya.”
Rumah sakit, kata Risma, merasa dirugikan dengan tindakan Prita. Bantahan langsung dilakukan dengan pengumuman di dua harian nasional. Tak cukup dengan itu, manajemen rumah sakit juga melaporkan Prita ke polisi dengan tuduhan pelanggaran pencemaran nama baik dan pelanggaran UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Masih tak puas, manajemen rumah sakit (Penggugat I) lalu mengajukan gugatan perdata kepada Prita. Dokter yang merawat Prita dan penanggung jawab komplain ditarik masing-masing sebagai Penggugat II dan Penggugat III. “Kami menuntut ganti rugi sebesar Rp559 miliar yang terdiri dari ganti rugi materil dan immateril.”
Gugat Balik
Sampai berita ini diturunkan, beberapa kali upaya hukumonline menghubungi nomor telepon kantor kuasa hukum Prita tak membuahkan hasil. Namun berdasarkan salinan berkas jawaban, kuasa hukum Prita menilai gugatan rumah sakit tak lengkap lantaran tak mengikutsertakan pihak lain yang terlibat dalam milis itu.
Pada bagian lain, kuasa hukum tergugat juga menyayangkan ketidakprofesionalan pelayanan rumah sakit yang terkesan tidak akurat dan terburu-buru. Buktinya adalah perbedaan hasil pengujian sampel darah. Selain itu, kuasa hukum Prita juga menyesalkan sikap rumah sakit yang tak kunjung memberikan informasi, hasil diagnosa dan tindakan medis apa yang akan dilakukan kepada Prita.
Merujuk pada UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No 1419/Per/X/2005 mewajibkan dokter memberikan penjelasan yang lengkap kepada pasien ketika melakukan tindakan medis. Berdasarkan fakta dan dasar hukum itu, kuasa hukum Prita mengajukan gugatan balik (rekonvensi) dan menuntut ganti rugi yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Hak Pasien atas Informasi
Pengurus sekaligus pengacara publik Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo berpendapat pada prinsipnya hak seorang pasien tak jauh berbeda dengan seorang konsumen. “Rumah sakit bisa dibilang sebagai pelaku usaha,” terang Sudaryatmo lewat telepon, Selasa (5/5).
Karena itu, lanjut Sudaryatmo, pasien juga berhak mendapatkan informasi dan pelayanan jasa yang jelas serta menjamin keamanan pasien. “Selain itu, pasien juga punya hak prosedural seperti bagaimana proses penyelesaian jika ada sengketa dan mendapatkan advokasi.”
Sebagai pelaku usaha, rumah sakit juga harus menyediakan mekanisme penampungan keluhan yang bagus. Setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu, pertama terbukanya akses pasien untuk menyampaikan keluhan, baik berupa kotak saran, complain center, sms, email atau faksimili. Syarat berikutnya adalah jelasnya mekanisme penanganan keluhan seperti siapa yang bertanggung jawab, tahapan apa saja yang harus dilalui dan berapa lama keluhan itu diproses. Syarat terakhir adalah adanya kewajiban pelaku usaha untuk menyampaikan bagaimana hasil penanganan keluhan itu kepada konsumen.
Menurut pandangan pribadi Sudaryatmo, seorang pasien tak bisa disebut mencemarkan nama baik rumah sakit jika sebelumnya sudah mengadukan keluhannya secara langsung. “Kalau dia belum mengadukannya, terus langsung mengungkapkannya kepada publik itu berpeluang sebagai pencemaran nama baik.”
Sikap pelaku usaha yang terlalu defensif atas keluhan konsumen dan bahkan menyerang balik konsumen dengan gugatan, sebenarnya merugikan kedua pihak. Konsumen bakal trauma dalam menyampaikan saran dan usulan. Sementara pelaku usaha bisa kehilangan masukan yang konstruktif demi perbaikan kualitas layanannya.
dari http://hukumonline.com
iya tuh mas...sesat,,,lo gni indoneisia ga bkal jadi pusat IT ya
ReplyDeletebetul...betul..betul...indonesia ga mungkin jadi pusat IT tapi pusat korupsi ya bener
ReplyDelete